Berdasarkan
azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat
atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa
yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan
kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu
adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan
tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan
demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan
bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai
sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Hukum
Perjanjian memiliki empat syarat yang harus dilakukan yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan, untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal
tertentu, dan suatu sebab yang halal. Menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan
dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan
“sepakat” atau juga dinamakan “perizinan” dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, “setuju” atau “seia-sekata” mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain. Orang yang membuat
suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya setiap “orang yang
sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu orang-orang
yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, dan orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Disamping
mengenai syarat-syaratnya perlu kita ketahui juga mengenai pembatalan suatu
perjanjian. Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa
apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal
demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridhis dari
semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara
orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk
meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, Telah gagal. Tak
dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar –hukumnya
tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak
pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar