Mengenai
sumber-sumber perikatan, oleh Undang-Undang diterangkan, bahwa suatu perikatan
dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undang-undang.
Perikatan yang lahir dari Undang-Undang dapat dibagi lagi atas
perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-Undang saja dan yang lahir dari
undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi
lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang
diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Dalam
hukum yang berlaku suatu Azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang
berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang
berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara pengadilan.
Dalam
B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan “natuurlijke verbintenis”.
Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan denga
perkataan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut,
ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan, bahwa terhadap “natuurlijke
verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah
diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata
lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang. Karena pembayaran
tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang
tidak diwajibkan, seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Selain
dari pada azas dan hukum-hukum yang berlaku, perlu kita ketahui mengenai “Wanprestasi”.
Ia adalah “alpa” atau “lalai” “bercidera-janji”. Atau juga ia “melanggar
perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat seuatu yang tidak boleh
dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti
prestasi yang buruk. Hukuman atau akibat yang ditimbulkan dari si berhutang
yang lalai ada 4 macam yaitu membayar kerugian (ganti rugi), pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian, peralihan resiko, dan
membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.
Begitu juga ada cara-cara hapusnya suatu
perikatan, pada pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan
sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu pembayaran,
penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan, pembaharuan
hutang, perjumpaan hutang atau kompensasi, percampuran hutang, pembebasan
hutang, musnahnya barang yang terhutang, pembatalan, berlakunya suatu syarat
batal, dan lewatnya waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar