Jumat, 28 Juni 2013

HUKUM PERIKATAN dan PERJANJIAN



Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh Undang-Undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undang-undang. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-Undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.

Dalam hukum yang berlaku suatu Azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara pengadilan. 

Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan “natuurlijke verbintenis”. Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan denga perkataan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut, ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan, bahwa terhadap “natuurlijke verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang. Karena pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan, seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.

Selain dari pada azas dan hukum-hukum yang berlaku, perlu kita ketahui mengenai “Wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” “bercidera-janji”. Atau juga ia “melanggar perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat seuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk. Hukuman atau akibat yang ditimbulkan dari si berhutang yang lalai ada 4 macam yaitu membayar kerugian (ganti rugi), pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.

 Begitu juga ada cara-cara hapusnya suatu perikatan, pada pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang atau kompensasi, percampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang, pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar