Minggu, 30 Juni 2013

BAHASAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN



Sebuah perusahaan yang ingin didirikan tentunya harus melakukan wajib daftar perusahaan. Dengan adanya daftar perusahaan yang merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas resmi dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha dan perusahaan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pentingnya daftar perusahaan untuk pemerintah guna melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena daftar perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan kepastian berupa bagi dunia usaha.

Selain dari pada dasar pertimbangan diatas bahwa sebuah perusahaan sebelum melakukan wajib daftar harus paham mengenai Ketentuan Umum Wajib Daftar Perusahaan (pasal 1) yaitu Daftar perusahaan, Perusahaan, Pengusahanya, Usahanya, dan Menteri yang bertanggung jawab mengenai bidang perdagangan.

Tujuan hal ini untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha. (pasal 2)

Kewajiban ini dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah. Namun, apabila perusahaan dimiliki oleh beberapa orang, para pemilik berkewajiban untuk melakukan pendaftaran. Apabila salah seorang dari mereka telah memenuhi kewajibannya, yang lain dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kemudian, apabila pemilik dan atau pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di wilayah NKRI tidak bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, pengurus atau kuasa yang ditugaskan memegang pimpinan perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan (pasal 5).

Ketika perusahaan ingin melakukan wajib daftar dapat melakukannya dengan cara mengisi formulir pendaftaran  oleh Menteri pada kantor pendaftaran perusahaan. Kemudian, penyerahan formulir pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan yang berkedudukan di setiap kantor agen dan perwakilan perusahaan. Pendaftaran ini dilakukan dengan jangka waktu 3 bulan setelah perusahaan mulai dijalankan. Hal-hal yang Wajib Didaftarkan Perusahaan terdapat dalam pasal 11, 12, 13, 15, dan16. 

Sabtu, 29 Juni 2013

HUKUM DAGANG



Prof. Subekti S.H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya “ Hukum Dagang” tidaklah lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian ekonomi. Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHS dan KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi (yang menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum ada peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru mulai berkembang pada abad pertengahan. Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS. Menurut Prof. Subekti, dengan demikian sudah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai Hukum khusus terhadap Hukum umum. 

          Berlakunya hukum dagang sebenarnya sudah mulai ada sejak abad pertengahan di Eropa, kira-kira dari tahun 1000 sampai tahun 1500. Setelah abad tersebut mulailah berkembang dalam perdagangan besar sehingga membentuk suatu usaha-usah mikro hingga perusahaan. Ada terdapat bentuk-bentuk perusahaan seperti perseroan (Maatschap), Perseroan Firma, Perseroan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas (PT). Kemudian salah satu pembahasan mengenai PT bahwa dalam KUHD tidak memberikan definisi tentang Perseroan Terbatas dan KUHD hanyalah mengatur bentuk perseroan ini secara terbatas dan sederhana. Hanya ada 20 pasal dalam KUHD yang khusus mengatur PT, yaitu pasal 36 s/d 56. Pada umumnya orang berpendapat bahwa PT adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-saham, dalam dana para pemegang saham (persero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum dibuat oleh nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan).  

          Jika dilihat dari segi hubungan pengusaha dan pembantu pengusaha perlu kita ketahui bahwa ada tiga eksistensi pengusaha yaitu (a) pengusaha yang bekerja sendiri, (b) pengusaha yang ingin bekerja dengan bantuan pekerja (c) pengusaha yang member kuasa kepada orang lain menjalankan perusahaan. Urutan ini berdasarkan kecilnya besarnya perusahaan yang dijalankan. Makin besar suatu perusahaan makin sulit dijalankan sendiri tanpa bantuan dan kerja sama dengan pengusaha lain. Hal ini mendorong pengusaha mengadakan kerja sama antara beberapa pengusaha, sehingga terbentuk persekutuan komanditer (C.V), perseroan terbatas (P.T). Perkembangan perusahaan memerlukan pula banyak pekerja pembantu yang dipekerjakan dikantor, took, gudang.

KAJIAN HUKUM PERJANJIAN



Berdasarkan azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. 

Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.

Hukum Perjanjian memiliki empat syarat yang harus dilakukan yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan, untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif  karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan “sepakat” atau juga dinamakan “perizinan” dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “setuju” atau “seia-sekata” mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain. Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Disamping mengenai syarat-syaratnya perlu kita ketahui juga mengenai pembatalan suatu perjanjian. Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridhis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, Telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar –hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.   


Jumat, 28 Juni 2013

HUKUM PERIKATAN dan PERJANJIAN



Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh Undang-Undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undang-undang. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-Undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.

Dalam hukum yang berlaku suatu Azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seseorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara pengadilan. 

Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan “natuurlijke verbintenis”. Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan denga perkataan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut, ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan, bahwa terhadap “natuurlijke verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang. Karena pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan, seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.

Selain dari pada azas dan hukum-hukum yang berlaku, perlu kita ketahui mengenai “Wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” “bercidera-janji”. Atau juga ia “melanggar perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat seuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk. Hukuman atau akibat yang ditimbulkan dari si berhutang yang lalai ada 4 macam yaitu membayar kerugian (ganti rugi), pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.

 Begitu juga ada cara-cara hapusnya suatu perikatan, pada pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut yaitu pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang atau kompensasi, percampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang, pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya waktu.